Friday, October 02, 2009

Tekstil Majalaya Wajah Suram Industri Rakyat

Kebakaran yang melanda Pasar Tanah Abang, Jakarta, belum lama ini, tidak saja menimbulkan kerugian besar bagi ratusan pedagang di pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini, tetapi juga berdampak pada ribuan industri kecil yang menjadi pemasok, termasuk juga kalangan industri tektil di Majalaya, Bandung, Jawa Barat.

Sebagai sentra industri tekstil, Majalaya mempunyai sejarah cukup panjang. Malahan kota kecamatan yang berjarak sekitar 30 kilometer ke arah selatan Bandung ini pernah mengalami kejayaan pada tahun 60-an. Tidak heran kalau pada saat itu Majalaya dikenal dengan sebutan “kota dolar”. “Mobil produk terbaru apapun ada di Majalaya,” kata seorang pengusaha mengenang kejayaan yang pernah dialami orangtuanya. Pada saat itu, produk tekstil Majalaya tidak hanya memenuhi pasar di Jawa Barat dan sekitarnya, tetapi juga menjangkau hampir seluruh Indonesia, bahkan sampai ke beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Sayangnya, masa keemasan itu tak berlangsung lama. Industri tekstil yang telah menjadi tumpuan hidup masyarakat sejak puluhan tahun itu, secara perlahan tapi pasti kian memudar. Gejala itu mulai tampak sejak awal tahun 70-an dan hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan meskipun sisa-sisa kejayaan itu masih bisa disaksikan dari gemuruh mesin tenun di sebagian rumah penduduk. Mereka adalah pengrajin tenun generasi kedua atau ketiga yang tetap setia menekuni usaha yang diwarisi dari orang tuanya, meski dengan kondisi seadaanya.
Dari hasil kajian tampak bahwa banyak faktor yang menyebabkan semakin memudarnya industri tekstil di Majalaya ini, antara lain:

1. Persaingan makin ketat
Salah satu penyebab keterpurukan industri tektil Majalaya yaitu kondisi persaingan yang semakin ketat, terutama setelah masuknya pelaku baru dalam bisnis ini, khususnya pengusaha dan pedagang keturunan Cina. Mereka yang semula murni berdagang di pasar-pasar di Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya, banyak yang mulai merambah ke sektor produksi. Mereka mulai menawarka modal untuk melakukan kerjasama usaha dengan para pengrajin di Majalaya, kemudian berlanjut pada pengalihan kepemilikan.
Hal ini bisa terjadi karena para pengusaha etnis Cina ini umumnya memiliki berbagai keunggulan, selain telah menguasai jalur pemasaran, mereka juga lebih siap dalam permodalan, teknologi, dan sumber daya manusia. Akibat, banyak pabrik milik penduduk Majalaya yang secara perlahan-lahan terpaksa berpindah tangan.

2. Terbatasnya permodalan
Khusus menyangkut permodalan, kalangan industri kecil ini umumnya lebih suka menggunakan modal sendiri dan jarang sekali mau memanfatkan kredit perbankan. Untuk mengatasi kendala permodalan, khususnya modal kerja, mereka lebih suka meminjam kepada teman atau anggota keluarga lainnya. Tampaknya mereka kurang terbiasa memanfaatkan dana perbankan, mungkin karena pihak bank yang terlalu terikat dengan persyaratan teknis, juga karena alasan ideologis dimana banyak pengusaha yang menganggap bunga bank itu riba. Selain itu, juga ada anggapan negatif, bahwa pengusaha yang mengajukan pinjaman kepada bank adalah pengusaha yang sedang bermasalah. Dengan hanya mengandalkan kemampuan modal sendiri yang sifatnya terbatas, tentu akan sulit bagi suatu usaha untuk bisa berkembang lebih pesat.

3. Gagalnya regenerasi
Kenyataan lain yang menyebabkan terpuruknya industri tekstil di Majalaya, yaitu karena gagalnya alih generasi. Para orang tua tidak menyiapkan generasi penerus secara baik, terbukti hampir tidak ada generasi muda di Majalaya saat itu yang meneruskan pendidikannya ke Institut Teknologi Tekstil (ITT), Bandung. Akibatnya, pengelolaan usaha yang dilakukan oleh generasi penerus tidak lebih baik dibandingkan pendahulunya, sementara tantangan yang dihadapi jauh lebih rumit. Dari hasil penelitian menunjukkan, sekitar 72 persen karyawan di industri tekstil milik pribumi ini hanya berpendidikan SD dan SLTP, sedangkan SLTA hanya 26 persen, dan diploma/sarjana hanya 2 persen.

4. Berkurangnya subsidi
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan yang pernah dicapai industri tekstil Majalaya tidak lepas dari dukungan nyata pemerintah dalam bentuk subsidi, khususnya dalam pengadaan bahan baku dan pengadaan mesin-mesin. Pemerintah melalui perusahaan pemintalan melakukan impor kapas guna memenuhi kebutuhan bahan baku benang industri tekstil itu. Dengan demikian para pengusaha kecil ini akan mendapatkan jaminan bahan baku dengan harga relatif murah.
Pola hubungan seperti itu ternyata tidak bisa berlangsung terus. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan pemintalan menghapai berbagai permasalahan, sehingga tidak memungkinkan untuk meneruskan usahanya. Kondisi itu tentunya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan industri tekstil yang semula banyak tergantung pada pasokan bahan baku dari perusahaan pemintalan milik negara itu.

5. Teknologi yang usang
Begitu pula dukungan pemerintah terhadap modernisasi proses produksi melalui pengadaan mesin-mesin yang khusus diimpor dari Jepang, terbuka kesempatan bagai para pengusaha untuk beralih dari alat tenun bukan mesin (ATBM) menjadi alat tenun mesin (ATM). Namun dalam perkembangannya, pemerintah tidak pernah lagi memberikan dukungan di bidang teknologi ini. Tidak heran kalau mesin yang digunakan para pengusaha adalah mesin-mesin buatan tahun 1956 yang sudah tidak layak pakai. Akibatnya, produk yang dihasilkan berkualitas rendah, dengan jangkauan konsumen kelas bawah. Untuk mengganti mesin-mesin itu tentunya membutuhkan modal yang besar.

Sebetulnya, bukan hal yang mustahil untuk mengembalikan citra Majalaya sebagai sentra tekstil. Apalagi sebagian pengusahnya yang sekarang masih setia menggeluti usaha ini menunjukkan minat yang tinggi untuk lebih mengembangkan industri pertekstilan ini. Untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa langkah yang perlu dilakukan, antara lain:

1. Perlu adanya dukungan permodalan, baik untuk modal kerja maupun untuk peremajaan mesin-mesih dan perluasan usaha. Dengan adanya dukungan permodalan setidaknya bisa meningkatkan nilai tawar para pengusaha kecil ini baik terhadap pemasok bahan baku maupun kepada para agen dan konsumen.

2. Salah satu faktor strategis yaitu menyangkut sumber daya manusia (SDM). Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM, baik untuk jangka pendek melalui pelatihan-pelatihan maupun jangka panjang melalui pendidikan formal. Misalkan, dengan mendirikan sekoleh kejuruan bidang pertekstilan atau mengirimkan generasi muda untuk mempelajari bisnis pertekstilan di berbagai negara.

3. Tentunya semua langkah itu perlu dukungan semua pihak, baik pemerintah daerah, pemerintah pusat, instansi terkait, kalangan pengusaha, dan peranserta masyarakat. Pemerintah diharapkan bisa menyediakan prasarana seperti perbaikan jalan, penataan kota, pasar, transportasi dan fasilitas umumnya, termasuh perlunya membangun semacam show room untuk aneka produk tekstil yang hingga kini belum ada.

Beberapa langkah itu hanya sebagai saja dari berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mengembalikan Majalaya sebagai sentra tekstil terkemuka di negeri ini. Tentunya masih banyak langkah lain yang perlu dilakukan, termasuk bidang pemasaran, desain, dan promosi. Melalui berbagai langkah tersebut, tidak mustahil produk tektil Majalaya akan kembali memenuhi pasar-pasar di seantero Nusantara, bahkan ke manca negara


baca selengkapnya!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home